Carles Lama Video
Ultimo aggiornamento
2024-05-04
Aggiorna
Barat Dua Benda Candi Kinsbergen Kaitan Brandes 1873 1902 1859 1900 1896 1891 1890 1885 1882
(http•••) LUCU? KAITAN KABAH DGN BOROBUDUR EPS #15A PART 1 BOROBUDUR PENINGGALAN NABI DAUD RAJA YAHUDI ISRAEL DEKRIPSI BOROBUDUR: Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda bidang teknik, ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas monumen ini, yang dirampungkannya pada 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, yang mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada 1873, monograf pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya dalam bahasa Prancis setahun kemudian. Foto pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen. Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup lama Borobudur telah menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi pencuri, penjarah candi, dan kolektor "pemburu artefak". Kepala arca Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena mencuri seluruh arca buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan oleh pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak ditemukan arca Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran kolektor benda antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala inspektur artefak budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian dan pencurian yang marak di monumen.[32] Akibatnya, pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk menggelar penyelidikan menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini; laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan. Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cenderamata, arca dan ukirannya diburu kolektor benda antik. Tindakan penjarahan situs bersejarah ini bahkan salah satunya direstui Pemerintah Kolonial. Pada tahun 1896, Raja Thailand, Chulalongkorn ketika mengunjungi Jawa di Hindia Belanda (kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa bagian dari Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan gerobak penuh arca dan bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand antara lain; lima arca Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, dan arca penjaga dwarapala yang pernah berdiri di Bukit Dagi — beberapa ratus meter di barat laut Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini dipamerkan di Museum Nasional Bangkok.[33] Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki tersembunyi.[34] Foto-foto yang menampilkan relief pada kaki tersembunyi dibuat pada kurun 1890–1891.[35] Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil langkah menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah membentuk komisi yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini: Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang juga anggota tentara Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen Pekerjaan Umum. Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian Borobudur kepada pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak harus segera diatasi dengan mengatur kembali sudut-sudut bangunan, memindahkan batu yang membahayakan batu lain di sebelahnya, memperkuat pagar langkan pertama, dan memugar beberapa relung, gerbang, stupa dan stupa utama. Kedua, memagari halaman candi, memelihara dan memperbaiki sistem drainase dengan memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga, semua batuan lepas dan longgar harus dipindahkan, monumen ini dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu yang rusak dipindahkan dan stupa utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada saat itu ditaksir sekitar 48.800 Gulden. Sumber: Wikipedia Indonesia
To see the whole gig just play the Playlist "Beat-Workshop - Sha Na Na | 1973" (http•••) Have fun! :) Sha Na Na is an American rock and roll group. The name is taken from a part of the long series of nonsense syllables in the doo-wop hit song "Get a Job", originally recorded in 1957 by the Silhouettes. Billing themselves as "from the streets of New York" and outfitted in gold lamé, leather jackets, pompadour and ducktail hairdos, Sha Na Na performs a song-and-dance repertoire of classic fifties rock and roll, simultaneously reviving and parodying the music and 1950s New York street culture. Sha Na Na hosted the Sha Na Na syndicated variety series that ran from 1977 to 1981.
Dreyfus Monk 1985 1997 2003 2020
Dhamma talk with Q&A session offered by Prof. Geshe Georges Dreyfus, about the influence of Ajahn Buddhadasa's teachings on his thinking, how Ajahn’s ideas helped him to understand the Dhamma in ways that are appropriate for a modern scientifically educated person and yet also completely respectful of the integrity of the Buddhist tradition. 'Modern Buddhist Practice: between secularism and traditionalism' (Reading Buddhadasa in the Himalayas) 1st February, 2020 +••.••(...)) Meditation Hall Buddhadāsa Indapañño Archives, Bangkok [Q&A session starts at 41:08] About Ajahn Georges Dreyfus: Prof. Georges Dreyfus spent fifteen years as a Buddhist monk before receiving in 1985 the title of Geshe, the highest degree conferred by Tibetan monastic universities. He then entered the University of Virginia where he received his Ph.D. in the History of Religions program. During these years, he has also been a translator for the Dalai Lama with whom he is personally acquainted. He is currently Professor of Religion of the Department of Religion at Williams College. He has published several books including "The Sound of Two Hands Clapping: the Education of a Tibetan Buddhist Monk" (Berkeley: University of California Press, 2003), and many articles on various aspects of Buddhist philosophy and Tibetan culture. He has been chair of the Religion department at Williams College and chair of the Tibetan and Himalayan Religions group of the American Academy of Religion. He is the recipient of various awards such as a National Endowment for the Humanities. Books by Prof. Georges Dreyfus (a selection): "Recognizing Reality: Dharmakirti and his Tibetan Interpreters" (Albany: SUNY Press, 1997) (http•••) "The Svatantrika-Prasangika Distinction" (Co-edited with Sara McClintock, Boston: Wisdom, 2003) (http•••) "The Sound of Two Hands Clapping: the Education of a Tibetan Buddhist Monk" (Berkeley: University of California Press, 2003) (http•••) - - ❖ - -